Sabtu, 29 Oktober 2016

PUANG TAMBORO LANGI’ DAN KETURUNANNYA

Oleh : Juvirson Rambulangi' (FH-UNHAS'98)

Puang Tamboro Langi' merupakan Tomanurung pertama yang menurut hikayat turun dari langit melalui Pelangi atau Tindak Sarira dari puncak gunung Kandora, Mengkendek pada abad ke 13. Dia datang membawa hukum adat yang disebut Bangunan Ada’ atau Dandanan Sangka’ yaitu Aluk Sanda Saratu’ di Kalinobulawanan Tana Toraja.Puang Tamboro Langi adalah penguasa tertinggi diseluruh wilayah Tondok Lepongan Bulan,Tana Matarik Allo atau Toraja Raya. Memang banyak versi tentang kedatangan Puang Tamboro Langi, tapi pada umumnya mereka menganggap bahwa Puang Tamboro Langi turun dari langit di puncak Buntu Kandora.


Puang Tamboro Langi’ kawin dengan Puang Sanda Bilik yang berasal dari Palung Sungai Sa’dan di Sapan Deata dan tinggal di Kandora, Banua Ditoke’ dan dia juga pernah tinggal di Ullin.


Dari hasil perkawinannya, lahir 8 orang anak, 4 putri (2 orang kembali kekayangan dan 2 orang kembali ke palung sungai sa’dan di sapan deata, tempat puang sanda bilik berasal ) dan 4 orang putera.Untuk memperluas wilayah kekuasaannya , maka Puang Tamboro Langi memerintahkan kepada Ke empat orang putranya untuk pergi kawin ke berbagai daerah di lili’na Tondok Lepongan Bulan sebagai berikut:


  1. Puang Papai Langi’, yang kawin dengan Puang Allo Anginan yang   berasal dari mata air di Gasing Mengkendek, yang melahirkan Puang Paetong di Otin, Puang Toding di Banua Lando Kendenan, Makale, Puang Lande’ di Su’pi’ Sangalla’ dan Puang Panggeso di Tiromanda makale. Kemudian dia kawin lagi dengan Ma’dika Tumba’ Sarambunna ( istri kedua ) di Banua Puan yang melahirkan : Sarambunna di Tinoring, Tomemanuk di Bala, Lala’ di Batu Rondon, Samang di Tengan, Yarra’ Matua di Palipu’, Tintiri Buntu di Sillanan, Bangke’ Barani di Botang dan Bambiri lemo di Pa’buaran.
  2. Puang Sanda Boro di Batu Borong, kaki pegunungan Latimojong, yang kawin dengan Puang Bu’tui Pattung (keluar dari bambu) di Batu Borrong dan melahirkan Puang Palondongan di Marintang, Puang Rombe Londong di Tabang, Puang Baine (mate malolle’) dan Puang Laki Padada di Goa.
  3. Puang Maesa ( Mesok ) di Rante Rano, Makale yang kawin dengan Puang Timban di Rante Rano dan melahirkan Puang Payak Allo (datu matampu’), yang kawin dengan Puang Tumba’ Para’mak di Orong atau Bonggai ri Orong ( Putri Penguasa di bagian barat Toraja).
  4. Puang Tumambuli Buntu pergi ke Napo dan kawin dengan Puang Bonggai ri Napo yang keluar dari Batu di Napo, yang melahirkan Puang Saredadi di Buntu Karua, Puang Ambatau di Sesean, Puang Ampang di Sa’dan dan Puang Lambe Susu di Napo.


Kemudian Puang Tumembali Buntu kawin lagi dengan puang Manaek di Nonongan, yang melahirkan Puang Palaga di Tarongko, Puang Marimbun di Bungin, makale, Puang Rambu Langi di Pangi, Makale, Puang Tekondok di Buakayu, Puang Tandiri Lambun di Tapparan, Saluputti, Puang Palulun (Pasongka) di Siguntu’, Nonongan, Puang Pata’dungan di Tumika, Rante Lemo, Makale, Puang Pari’bak (Tulak Allo) di Lolai, dan Puang Petimba Bulaan yang kawin dengan Puang Patta La Bantan di Kaero, sangalla’.


Puang Tamboro Langi’ datang membawa Pranata Perkembangan Tatanan Kehidupan Masyarakat dan Kebudayaan Toraja yang spesifik disebut Aluk Sanda Saratu’ untuk menyempurnakan Aluk Sanda Pitunna yang sudah ada terlebih dahulu,yang hanya mengenal Asas Kekeluargaan dan Kegotong Royongan dalam kehidupan masyarakat.
Sebelum kedatangan Puang Tamboro Langi’, maka sudah ada masyarakat yang datang terlebih dahulu dari Indo Cina (Vietnam Bagian Utara) yaitu dari Tongkin dan Yunan dengan menggunakan perahu ,yang kemudian melandasi kepercayaan terhadap pilosofi bentuk rumah orang Toraja yang melengkung seperti Perahu dan rumah orang Toraja yang selalu menghadap ke arah Utara , untuk mengenang asal-usul mereka yang berasal dari utara.
Mereka masuk dari selat Makassar, kemudian menyusuri Sungai Sa’dan masuk ke daerah Pinrang, kemudian berhenti didaerah Enrekang (dalam bahasa Bugis), biasa disebut Endekan dalam bahasa Toraja, dan Massenrengpulu’ berarti pelabuhan, naik keatas daratan. Jadi setelah mereka sampai di kampung Papi, Endekan, mereka berhenti disitu dan menambatkan perahunya , setelah itu mereka mendaki , naik ke daerah Bamba Puang. Ada juga beberapa kelompak masyarakat yang beramai-ramai memikul perahunya ke daratan disekitar daerah Bamba Puang.


Gelombang pertama diperkirakan datang membawa peradaban Neo Megalitikum yang masih hidup primitif dan belum mengenal besi (saman batu). Mereka datang dalam kelompok-kelompok kecil dan hidup tersebar dilereng –lereng bukit yang terpencil dalam hutan. Kemudian datang gelombang kedua pada abad ke-6 yang sudah agak maju dan sudah mengenal besi, dengan menyebarkan aluk sanda pitunna. Jadi daerah perkampungan atau persinggahan pertama orang Toraja adalah daerah Bamba Puang, Enrekang, kemudian dari tempat itu , baru mereka menyebar keseluruh pelosok Toraja Raya.
Memang ada versi lain yang mengatakan bahwa ada juga yang melalui Sapan Deata tetapi hanya sedikit , karena disamping jalur tersebut tidak populer, jalur yang akan dilewati di daerah sekitar sapan deata pada waktu itu dihuni oleh banyak buaya, sehingga banyak yang tidak berani lewat di tempat itu.


Para pakar sejarah mengatakan bahwa Etnis Toraja yang termasuk suku Proto Malay (melayu tua), yaitu suku yang lebih dahulu datang di Sulawesi Selatan. Diperkirakan bahwa setelah mereka tiba, pada awalnya mereka tinggal disekitar daerah pantai , tetapi setelah datang suku Bugis, Makasar dan Mandar, yang termasuk suku Deutero Malay, maka suku Toraja yang jumlahnya lebih sedikit, mulai berpindah ke bagian tengah atau ke daerah pegunungan Sulawesi Selatan.
Ada dua orang pakar sejarah dari Benua Eropa yang berada di Poso pada waktu itu, yakni Dr.Adriani dan Dr.Kruyt, mulai meneliti/mempelajari dan memperkenalkan Toraja pada abad ke-19, sehingga masuk literatur dunia. Dia mengatakan bahwa sebenarnya Etnis Toraja menempati wilayah yang sangat luas dan terbagi dalam 4 kelompok , yang didasarkan pada Kemiripan Bahasa, Adat Istiadat dan Budaya serta Pamali yaitu:


1. Toraja Barat : Kulawi, Kaeli, sagie,.To Napu, To Bara’, To Bada’, Rampi dan Lebani.

2. Toraja Timur atau Toraja Bare’e di Poso.

3. Toraja Buregku-Mori di Luwu’, To Laki di Kendari dan Kolaka To Mangkoka.

4.Toraja Selatan atau Toraja Tae’ yang mendiami daerah disekitar Sungai Sa’dan yaitu: Makale, Rantepao, Mamasa, Duri, aliran Sungai Noling (Jenne Maeja) dan aliran Sungai Lamasi dan Masamba.


Menurut D.Roedvelt, penduduk pantai Luwu’ (to luwu’) dan malili juga seketurunan dengan Toraja, yang nyata dalam bahasa, adat istiadat dan pamali.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya masyarakat Toraja yang datang pada Gelombang Kedua, membawa Aluk Mellao Langi’ yang disebut Aluk Sanda Pitunna ‘7.777’, yaitu Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu Lise’na, Balo’na Sanda Mairi’, Kumu’ku’na Pantan Sola Nasang, Aluk Sipiak Tallang Sangka’, Sisese Arrusan.
Aluk sanda Pitunna yang merupakan sukaran aluk yg diturunkan ke bumi oleh yang maha kuasa untuk dilaksanakan dan ditaati berdasarkan keadilan dan kebenaran. Adapun aluk sanda pitunna secara garis besarnya terdiri dari Aluk Tallu Oto’na dan Aluk A’pa’ Oto’na.
Aluk Tallu Oto’na merupakan falsapah atau asas kepercayaan kepada Puang Titanan Tallu, Tirindu Batu Lalikan yaitu:


1. Puang Matua.

2. Deata ( yang terbagi atas deata tangngana langi, deata kapadanganna dan deata tangngana padang) .

3.To Membali Puang atau para Leluhur ( bombo mendeatanna).  

Oleh karena itu, simbol tempat masing-masing di kosmos yaitu : Puang matua di bagian utara, Deata di bagian timur , para leluhur atau to dolo di bagian barat, sedangkan bagian selatan menunjukkan kepada tempat kematian, yang disebut Puya.
Aluk A’pa’ Oto’na merupakan falsafah adat atau asas kemasyarakatan yang menyangkut bagaimana manusia menghayati dan mengamalkan kepercayaan pada Aluk Tallu Oto’na dalam segala eksistensinya di kosmos. Aluk a’pa’ oto’na meliputi :


1.ada’ ma’lolo tau yaitu segala aturan yg menyangkut manusia yaitu ada’ dadinna ma’lolo tau(kelahiran manusia), ada’ tuona ma’lolo tau(kehidupan sehari-hari), ada’ menombana ma’lolo tau (penyembahan manusia) dan ada’ matena ma’lolo tau (kematian manusia).

2.ada’ma’lolo tananan (menyangkut tanaman).

3.Ada’ ma’lolo patuoan (menyangkut hewan ternak).

4.Ada’ ma’lolo banua (menyangkut rumah atau tongkonan).


Menurut ajaran Aluk Todolo bahwa pada mulanya segala sesuatu gelap, kemudian langit dan bumi bersatu atas perintah Puang Matua. Kemudian langit dan bumi berpancar dan terjadilah terang. Melalui Sauan Sibarrung (tabung angin kembar) dari langit, Puang Matua meniup napas dan abu kebumi dan lahirlah manusia pertama yang dinamai Datu Laukku’, yang merupakan nenek manusia pertama di bumi. Sesudah itu kemudian menurunkan: Pong Pirik-Pirik (nenek angin), La Ungku (nenek kapas), Takke Buku (nenek padi), Riako (nenek besi), Menturiri (nenek ayam), Tonggo (nenek kerbau), Allo Tiranda (nenek ipo/ racun), Kambuno langi’ (nenek tominaa), Pande Paita (nenek ahli bangunan), Rombe Kasisi’(nenek tomebalun), Pondan Padang (nenek toparenge’), Indo’ Belotumbang (nenek dukun), Toburake Manakka (nenek pemimpin acara keagamaan), Turiang (nenek tomenani) dan Pong Tinamba (nenek hakim adat), dll.


Demikian halnya dalam perhitungan angka hanya dikenal empat tingkatan yaitu : misa’, sangpulo, saratu’ dan sangsa’bu. 


Pusat aluk sanda pitunna pada mulanya ada di daerah Rura wilayah Bamba Puang, Enrekang, namun dengan tenggelamnya padang di Rura, yang diakibatkan oleh seorang penguasa di sekitar Bamba Puang yang bernama Londong di Rura, yang mengadakan perombakan besar mengenai sukaran aluk. Penguasa ini dikenal sebagai seorang yang kaya raya, tetapi keras, lalim, kejam dan melanggar sukaran aluk dengan membolehkan anak-anak kandungnya kawin satu sama lain, sehingga dikutu’ oleh puang matua.


Dengan tenggelamnya Londong di Rura , maka keturunan pong mula tau dilanjutkan oleh Londong Dilangi’. Salah satu keturunannya yaitu puang ri buntu kawin dgn dakka manurun yang melahirkan Tangdilino. Setelah peristiwa binasanya Londong di Rura berarti putusnya hubungan dengan Puang Matua yang menjadikan situasi dan keadaan menjadi kacau. Dalam kondisi yang demikian , Tangdilino menghubungi Pong Suloara (ahli sukaran aluk) dari Sesean yang disertai oleh Pong Bua’ Uran dan Indo’ Bekak Allo, petugas adat di Sesean untuk berangkat ke Rura untuk menata kembali sukaran aluk yg sudah kacau tersebut. Dalam kombongan kalua’,tumimbu malambe’(musyawarah besar)di Rura yang diprakarsai Tangdilino tersebut, ditata kembali sukaran aluk, yang mencakup, aturan hidup,aturan memuliakan puang matua, menyembah deata (dewa) dan menyembah to membali puang (para leluhur).


Dalam sejarah Toraja dikenal Pong Suloara’ digente’ to untindok sesanna mangsan, to unnala ra’dakna malabu artinya Pong sulo ara’ dinamai penyelamat dengan mengambil hal-hal yg baik dari aturan yg sudah hancur dan menyusun aturan penyelamat masyarakat akibat kelalaian Londong Dirura. Pong suloara’ dari sesean,topatutungan bia’ menetapkan kembali 3 macam tradisi yang meliputi : Tradisi burake Tambolang, Tradisi Burake Tangana dan tradisi BurakeTattiu’. Jadi penggarisan tersebut berarti terdapat 3 tradisi atau Lesoan Aluk , dengan persyaratan masing-masing dalam melaksanakan upacara persembahan dan pemujaan, baik dalam upacara syukuran maupun dalam upacara kedukaan.


Kemudian diadakanlah upacara memohon ampun kepada Puang Matua, sang pencipta, atas segala kesalahan dosa yang diperbuat Londong Dirura dan memohon berkat atas seluruh warga yang luput dari malapetaka yang menimpa Londong Dirura sekeluarga, dalam suatu upacara yang disebut Untindok Sesana Massan, Unnangkaran Ra’dakna Malame.
Kemudian Aluk Sanda Pitunna yang sudah ditata kembali , disebarkan oleh Pongkapadang atau Tandililing, ke daerah bagian barat Tana Toraja, bersama Burake Tattiu’, sedangkan Pasontik berangkat ke daerah bagian timur dari daerah Toraja bersama Burake Tambolang. Kemudian Tangdilino berangkat dari Rura dan tinggal di Bukit Sarimbano, Mengkendek, bersama Burake Tangngana dengan membawa pranata sosial Tounirui’ Suke Dibonga, Toungkandei Kandian Pindan.


Tangdilino berpindah dari Rura di Bamba Puang menuju Buntu Sarimbano di Marinding, Mengkendek dan membentuk pemukiman baru di tempat itu. Mereka memindahkan Banua Puan dari daerah Rura Bamba Puang , ke Marinding, Mengkendek, tanpa membongkarnya terlebih dahulu. Cara memindahkan rumah itu dikenal dengan sebutan Ramba Titodo. Rumah tersebut difungsikan sebagai tempat kegiatan sekaligus sebagai tempat tinggal dan tempat bermusyawarah yang disebut Banua Puan atau Tongkonan pertama orang Toraja .
Tangdilino mempunyai 9 orang anak yang disebar keseluruh wilayah Lepongan bulan atau Toraja Raya, untuk menyebar luaskan aluk sanda Pitunna dan kawin dengan anak penguasa adat didaerah itu seperti : Parange’ (ke- Buntao), Palanna’ (ke- Sangalla), Patabang (tinggal di Marinding,Mengkendek), Pataba’ (ke-Pantilang, luwu’), Bobong Langi’ (ke-Pitu ulunna salu ,Mamasa), Tele Bue’ (ke- Duri ,Enrekang), Pote Malea (ke-Rongkong, Luwu’) dan menyebar ke Sulawesi tengah.
Salah satu anak Tangdilino yaitu Sirrang ri Dangle menjelajahi seluruh daerah Makale, untuk menyebarkan aluk sanda pitunna.


Kemudian anaknya yang lain yaitu Pabane, anak pertama, membawa aluk sanda pitunna kekesu’ dengan mengawini Ambun ri Kesu’, putri penguasa di Kesu’. 
Kemudian dari kesu’ disebarkan oleh Pata’langi’ ke Tikala’ dan Pairi’( Tandililing) ke Piongan,Dende’, Kurra, Awan dan Baruppu’, serta untuk daerah Pangala’,Riu dan sekitarnya disebarkan oleh Tolangi’(bagian timur), Allo Paa ( bagian tengah) dan Paluang ke bagian barat yang meliputi Pangala’, Kapala Pitu, Sarambu, Ta’ba’ dan Sapan. Saat ini ada perbedaan mengenai acara Ma’nenek di wilayah itu yakni Dende’, Kurra dan Piongan melaksanakan Ma’nenek sekali dalam 10-12 Tahun dan boleh membawa nasi dan belundak ke to’liang, sedangkan Awan dan Baruppu’ melaksanakan acara Ma’nenek, setiap tahun dan tidak diperkenankan membawa nasi dan belundak ke to’liang. 
Jadi dari Kesu’ aluk sanda pitunna disebarkan ke seluruh wilayah daerah Toraja Utara, sehingga Kesu’ disebut : Panta’nakan lolona aluk sola pemali. Ada versi lain mengatakan bahwa Kesu’ disebut Panta’nakan lolona aluk sola pemali, karena setelah kedatangan Puang Tamboro Langi dengan Aluk Sanda Saratu’nya, maka pengembangan Aluk Sanda Pitunna berpindah ke Kesu’.


Kesembilan anak Tangdilino ini mengumpulkan masyarakat yang pada waktu itu masih hidup tersebar dan terisolasi di lereng-lereng gunung dalam hutan yang sepi . Kemudian wilayah-wilayah tersebut dihimpun dalam persekutuan yang disebut Bua’. Gabungan Bua’ membentuk wilayah persatuan yang lebih luas disebut Lembang atau Arruan yang dipimpin oleh Ampu lembang.
Dalam perkembangan lebih lanjut terbentuklah 40 Arruan atau Lembang ( Arruan Patang Pulo) sebagai wilayah adat otonom atau berdiri sendiri, yang melanjutkan sifat lembang yaitu kehidupan berperahu.
40 Wilayah kesatuan adat yang dikenal dengan nama Lembang atau Arruan patang pulo Etnis Toraja tersebut, tersebar di beberapa Kabupaten saat ini yaitu : Toraja, Toraja Utara, Pinrang, Polewali, Mamasa, Luwu’, Enrekang ,Mamuju dan sampai ke Sulawesi Tengah. Gelar yang biasa dipakai oleh pemimpin mereka adalah: Parengnge’, Indo’ Bua’, Siambe’, Sindo’, Sokkong Bayu, Balimbing Kalua’, To Bara’ dan Ma’dika.


Keempat puluh lembang atau Arruan ini disebut Tondok Lepongan Bulan, Tana Matarik Allo, karena mereka terkait dalam satu pranata Aluk Sanda Pitunna dan mempergunakan simbol persatuan dalam bentuk ukiran yang disebut Bare’allo atau Pa’bareallo (ukiran bentuk matahari), yang biasanya dipasang di rumah-rumah mereka,seperti di bagian Lindo Para Rumah.


Jadi mereka mengakui bahwa Tangdilino dari bukit Sarimbano, Marinding Mengkendek, sebagai leluhur pendahulunya dan mengakui Banua Puan sebagai Tongkonan Leluhur mereka. Mereka diikat oleh sebuah Basse yang disebut Basse To Sisampu Pissan atau Basse Toga’taran Sallolo.
Jadi peristiwa penyebaran Aluk Sanda Pitunna yang dilaksanakan oleh Tangdilino beserta dengan anak-anaknya keseluruh wilayah Toraja Raya terjadi pada abad ke-10. 
Kemudian pada abad ke-13, datang lagi to manurun Puang Tamboro langi’ dengan membawa Aluk Sanda Saratu’, dimana pada waktu itu sudah mulai timbul persaingan diantara komunitas Aruan atau Lembang tersebut, bahkan mulai timbul persaingan dan bahkan terjadi peperangan diantara komunitas tersebut, sehingga muncullah kekacauan.
Menurut legenda yang berkembang dimasyarakat pada waktu itu, bahwa Puang Tamboro Langi’ diutus oleh Puang Matua dengan tugas melaksanakan pembaharuan keagamaan, serta membawa aluk Sanda Saratu’ sebagai pedoman untuk melengkapi Aluk Sanda Pitunna. 


Karena masyarakat menganggap bahwa mereka adalah turunan dari dewa kayangan, maka mereka diberi gelar Puang Tomatasak dan disanjung dalam puisi : To mamma’ balian to matindo bai tora, to tang unrangi arrak, to tang unpedailing gamara, to dikulambu mawa’, to dirinding doti langi’,to mamma’ dao pue-pue rara’, to matindo dao palangka bulawan, to tang ditimba mata bubunna, tang disiok tondon turunanna, tang diola boko’na, tang dilomban tingayona, tang nalambi’ peruso kalando dll. Jadi proses turunnya aluk Sanda Saratu’ menggambarkan visi kepemimpinan Puang tamboro langi’ yaitu sebagai alat untuk mempersatukan dan melindungi masyarakat.


Puang Tamboro Langi’ sebagai Tomanurun, dianggap sebagai orang pintar dan cerdik dan melakukan pendekatan kepada masyarakat dengan sangat arif dan bijaksana, serta mengajar masyarakat bercocok tanam dan beternak dengan baik, termasuk membawa bibit-bibit tanaman baru (buah-buahan dan sayuran), yang pada saat itu belum ada di Toraja.
Kemudian Puang Tamboro langi’ mulai mengambil alih kekuasaan dan membangun Dinasti serta mulai memberlakukan Sistim Monarki dengan Strata Sosial, yang ditandai dengan Tiga Tingkatan status dalam masyarakat yaitu golongan Puang (terdiri dari para tomanurun dan keturunannya), Tomakaka (penduduk yang sudah ada sebelumnya) dan para hamba yang konon katanya di datangkan dari luar Toraja untuk membantu para Tomanurun, serta keturunannya. 


Ada versi lain mengatakan bahwa golongan Puang adalah para Tomanurun dan keturunannya dan golongan Tomakaka adalah masyarakat yang datang pada gelombang ke-2, sedangkan para hamba adalah masyarakat yang datang pada gelombang pertama, yang masih hidup dalam masa neo megalitikum atau saman batu yang masih primitif dan tinggal dilereng-lereng bukit dalam hutan. Setelah masyarakat gelombang kedua dan para tomanurun datang, yang jumlahnya lebih banyak dan sudah maju, serta sudah mengenal besi untuk membuat alat-alat pertanian, maka mereka dipanggil sebagai pekerja untuk membantu para pendatang baru, membuka lahan persawahan dan bekerja di kebun. 


Jadi pada waktu itu kepemimpinan tertinggi dalam masyarakat diambil alih oleh Puang Tamboro Langi’ dan keturunannya dan para Kepala Adat yang lama (dikalangan Tomakaka), turun ketingkat yang lebih rendah (bua’ ke bawah), tetapi dalam kenyataannya semangat kekeluargaan dan sistim aluk sanda pitunna tetap hidup dikalangan masyarakat. 
Puang Tamboro Langi’ mendirikan rumah yang disebut Banua Ditoke’, tondok dianginni, kedenni tau saelan di ullin mulambi’mi tondok ditoke’,banua dianginni, inanna unnissan kada silambi’, tondokna to sirenden kada dipatau bunga’. Jadi Puang Tamboro Langi’ yang turun dari kayangan di Buntu Kandora, mebanua ditoke’, toma’tondok dianginni, todikasiri’ bamba pellaoanna, dikabanga’ tondon turunanna, membawa satu pranata yang disebut aluk sanda saratu’ yang diwariskan kepada perkembangan tatanan kehidupan masyarakat dan kebudayaan Toraja.


Aluk Sanda Saratu’ yang dibawa oleh Puang Tamboro Langi’, lebih banyak mengatur tentang kedudukan Puang Tomanurun sebagai penguasa adat, maupun sebagai penguasa aluk sanda saratu’. 
Puang tamboro Langi’memperistri Puang Sanda Bilik dari palung sungai sa’dan di sapan deata, putri yang muncul dari dalam air dan tinggal di Kandora, Banua Ditoke’ dan juga pernah tinggal di Ullin. Pada awalnya sesudah menikah , mereka sulit menentukan dimana mereka akan tinggal, apakah mengikuti Puang Sanda Bilik atau mengikuti Puang Tamboro Langi’. Ketika itu Puang sanda bilik berkata, bila tinggal di banua ditoke’ ,tondok dianginni, kiang-kiang rendenan tedong, kandean bai, kurrean manuk. Demikian sebaliknya, bila mengikuti Puang sanda bilik pusa’ rendenan tedong, kandean bai, kurrean manuk dan ma’lolo tau., sehingga melakukan ma’biang-biang. Selanjutnya naperraukanni tu doke pedullu dimana ia tertanam disitulah mereka mendirikan rumah.
Puang Tamboro Langi’ dalam melaksanakan Pemerintahannya di Kerajaan Matampu’ yang baru dibentuknya tidak seluruhnya bisa didukung oleh 40 Arruan atau Lembang yang ada diseluruh wilayah Lepongan bulan , tanah matarik allo pada waktu itu. Sehingga dalam pemerintahannya hanya sebagian yang mau menerima Aluk Sanda Saratu’ yang dijalankan oleh Puang Tamboro Langi’ , sedangkan yang lain tidak mau tunduk dan tetap menerapkan aluk sanda pitunna yang sudah diterapkan oleh Tangdilino sebelumnya.Hal ini berlangsung cukup lama , sampai salah seorang cucu Puang Tamboro langi’ yang bernama Puang Lande’ di Su’pi’ , Sangalla’, bersama-sama dengan Arruan yang telah bergabung dengan Puang Tamboro Langi’ untuk memerangi Lembang atau Arruan yang tidak mau tunduk kepada Puang Tamboro Langi’, sehingga akhirnya ada 37 Arruan dari 40 Arruan yang ada di wilayah Toraja Raya yang bisa dikuasainya, kecuali ada 3 Arruan yang tidak sempat ditaklukkan yaitu Arruan Maiwa (Enrekang), Arruan Kassa’ ( Enrekang ), dan Arruan Bungin (Pinrang).


Pada saat Puang Sangalla’ atau Puang Su’pi’ menyerang Arruan Tangsa di Enrekang,maka Puang Sangalla’ menekan Penguasa adat Arruan Kambuno (Pararra’ ri Kambuno), yang tinggal didaerah perbatasan dengan Enrekang, untuk membantu menyerang Arruan Tangsa. Karena ditekan terus oleh Puang Sangalla’, maka masyarakat di Arruan Kambuno yang tidak mau terlibat dalam peperangan ini, karena sudah mempunyai hubungan kekerabatan dengan Arruan Tangsa, memilih untuk eksodus atau berpindah kedaerah Sidenreng dan menetap disekitar danau Sidenreng. 


Kemudian pada saat bersamaan juga, ada 8 kepala adat dari arruan yang ada diperbatasan sangalla’ dengan Luwu’,yang merupakan keluarga dari Puang Sangalla’, karena merasa tertekan dengan adanya peperangan yang terjadi diantara para arruan, yang dilakukan oleh Puang Sangalla’ atau Puang Su’pi’, sehingga mereka meninggalkan toraja pergi kedaerah Sidenreng dan sesampainya disebuah danau karena mereka kehausan, mereka pergi berpegangan tangan atau sirenden-renden (bahasa toraja) dan sirenreng-renreng (bahasa bugis), untuk mengambil air dipinggir danau, sehingga daerah tersebut dinamai Sidenreng. Mereka menetap disekitar danau tersebut, serta kawin mawin dengan anak penguasa adat setempat dan merintis berdirinya Addatuang atau Kerajaan Sidenreng. Sidenreng juga berarti sirenrengi arue matoa pole ri sangalla’ .
Ada juga beberapa keluarga puang Sangalla’, yang tidak senang dengan peperangan yang dilakukan oleh puang Sangalla’, sehingga mereka pergi ke daerah Duri, Enrekang dan menjadi leluhur penguasa adat disana. Memang Puang Sangala’ atau Puang Su’pi’ dikenal sebagai seorang pemberani yang sangat sakti dan pergi kawin kebeberapa Arruan atau Kampung, baik yang ada di Toraja maupun yang ada di Luwu’ dan Enrekang dengan tujuan mencari dukungan untuk memperluas wilayah kekuasaan neneknya, Puang Tamboro Langi’.


Jadi setelah 37 Lembang atau Arruan ini bisa dikuasai oleh Puang Tamboro Langi’ , maka diadakanlah musyawarah akbar atau kombongan kalua’ dengan seluruh pimpinan Arruan di buntu kandora yang disebut kombongan kalua’ lan padang di kandora, tomimbu malambe’ lan bambana kanni’.
Salah satu hasil keputusan penting dalam musyawarah akbar ini adalah mengangkat Puang Tamboro Langi’ sebagai penguasa tertinggi diseluruh wilayah Tondok lepongan bulan, Tana matarik allo atau Toraja Raya. Penobatannya dilakukan dalam suatu upacara yang disebut Ditakko’ atau dinobatkan menjadi raja atau datu mellao langi’ dengan gelar tokalindo bulawanan, tokabarealloan, toma’rara takkun, to ma’lite bumbungan.


Kemudian dilanjutkan dengan kesepakatan kombongan kalua’ tumimbu malambe’ antara pemimpin dan ketua-ketua adat di Bukit Kandora dan menghasilkan kesepakatan : susimo to tu kada situru’na kombongan kalua’ lan padang ri kandora allo anginna, tenmo to bisara sipanglolanna tumimbu malambe’ la bambana kanni’ to kulla’ pura diboko anna dipatorro tobare alloan tu puang tamboro langi’ la ditana lepongan bulan, anna dipaunnensung tokalindo bulanan datu toma’banua di toke’ , toma’tondok dianginni , lan dipadang tomatarikallo, anna ditanan basse kasallena tosisampu pissan, anna dipatulangdan panda dipamarossonna toma’uyun sang rapu tallang, napoparandanan matoto’na ,naposaladan madarindingna tu disanga takko’na puang tamboro langi’ lan padang ri ullin to allo pura di boko’, to kulla’ mangka dipolendu’.


Kemudian Pimpinan Arruan atau Lembang diangkat menjadi Toparengnge’ yaitu penguasa daerah setempat dengan gelar :
*.Untuk wilayah Dima’dikai dengan gelar ma’dika balimbing kalua’ pa’paelean, dengan ungkapan Iko Ma’dika.
*.Untuk wilayah Diambe’i dengan gelar siambe’ ampulembang balimbing kalua’ pa’paelean, dengan ungkapan Kamu Siambe’ atau Kamu Sindo’.
*.Untuk wilayah Dipuangngi dengan gelar puang ampu lembang dengan ungkapan Kita Puang.
Pengokohan Puang Tamboro Langi’ dikukuhkan dengan sumpah setia diantara satu sama lainnya basse tosisampu pissan, pandana to ma’rapu tallang. Saat itu mulailah penerapan aluk sanda saratu’ diseluruh wilayah lepongan bulan, tana matarik allo.


Setelah Puang Tamboro Langi’ berhasil mempersatukan dan menguasai seluruh wilayah Lepongan Bulan, Tana Matarik Allo, maka dia kembalike langit dan Puang Sanda Bilik kembali ke dalam air dipalung sungai sa’dan.
Kemudian Tongkat Kepemimpinan diserahkan kepada anaknya yang pertama yaitu Puang Papai Langi’, tetapi karena dia juga mengikuti istrinya yang konon katanya kembali kedalam air di gasing, maka Tongkat Kepemimpinan diserahkan kepada Puang Messok di Rante Rano, Makale.
Begitu pula dengan anaknya yang lain seperti Puang Sanda boro, menghilang di rumpun bambu di buntu borrong dan Puang Tumambali buntu, juga pergi mengikuti istrinya dan menghilang disekitar batu di napo. 


Jadi kalau kita simak tentang asal usul Puang Tamboro Langi’ yang turun dari langit melalui pelangi atau tindak sarira, maka mungkin masyarakat Toraja pada waktu itu masih percaya, karena masih sejalan dengan pola pikir mereka. Tetapi bagi masyarakat Toraja saat ini yang sudah maju dan sebagian besar sudah menganut agama kristen ,muslim dll, mungkin peristiwa ini dianggap mitos, karena bagi mereka tidak mungkin ada manusia yang tiba-tiba turun dari langit. Maka orang mulai mempertanyakan tentang asal-usul dari Puang Tamboro Langi’ yang sebenarnya.


Kemudian kalau kita hubungkan dengan penulisan seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada, yang juga didasarkan pada tulisan para pakar sejarah sebelumnya dan pernah dimuat dalam koran beberapa tahun yang lalu,dimana dikatakan bahwa pada abad ke- 13 terjadi peristiwa perebutan kekuasaan di Kerajaan Singosari,dimana Ken Arok membunuh Tunggul Ametung dan menjadi Raja Kerajaan Singosari yang berkedudukan disekitar kota Malang, Jawa Timur. Kemudian Anusopati anak Tunggul Ametung membunuh Ken Arok dan menjadi Raja. Kemudian Toh Jaya anak Ken Arok membunuh Anusopati dan menjadi Raja Singosari. Para putra mahkota tersebut, melarikan diri keluar jawa, karena takut dibunuh sebagai balas dendam. Dari penulisan itu juga dikatakan bahwa, ada putra /putri mahkota kerajaan yang lari dari jawa karena takut balas dendam dari pasukan kubilai khan atau Raja Mongol , terhadap keluarga Raja Kerta Negara ,atas penghinaan yang telah dilakukannya terhadap utusannya. Ada juga putra mahkota kerajaan Singosari yang lari dari pulau jawa karena dikejar oleh Raja Jayakatwang dari Kerajaan Kediri, setelah dia mengalahkan kerajaan Singosari dan menguasai Kerajaan itu.
Jadi dalam perebutan kekuasaan ini , banyak dari Putra/Putri Mahkota Kerajaan ini, melarikan diri ke pulau Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara Barat, untuk menyelamatkan diri dari pembunuhan, karena balas dendam. Mereka melarikan diri melalui perahu-perahu yang banyak berlabu di Surabaya dan kota dipantai utara Jawa Timur pada waktu itu, termasuk perahu-perahu Bugis Makassar yang banyak berlabuh di tempat itu.


Setelah mereka sampai di tempat yang baru , ada yang bergabung dengan masyarakat setempat dan mendirikan kerajaan baru atau karena mereka lebih pintar dari masyarakat setempat maka ada diantara mereka yang dipilih dan diangkat menjadi pimpinan atau raja mereka.
Ada juga Putra/Putri Mahkota Kerajaan yang sengaja dikirim keluar jawa, karena merupakan ekspedisi yang dikirim oleh Raja Kerta Negara di Kerajaan Singosari dalam rangka membangun kekuatan baru dengan cara memperluas wilayah kekuasaannya, untuk menghadapi ancaman kerajaan Mongol dari utara. Para Putera Mahkota Kerajaan ini, menyatu dengan masyarakat dan mendirikan Kerajaan-Kerajaan baru di daerah yang didatangi. Dikatakan juga bahwa para putera /putri mahkota kerajaan, yang melarikan diri tersebut, sebagian besar kembali ke pulau jawa setelah situasi keamanan di pulau jawa sudah kembali kondusif atau visi dan misi ekspedisinya sudah berhasil membangun kekuatan dengan memperluas wilayah kerajaan atau membentuk kerajaan baru.


Jadi dengan demikian kita bisa ber asumsi bahwa kemungkinan para to manurun itu, seperti Puang Tamboro Langi’ dan istrinya, serta menantunya, mungkin bisa berasal dari pulau Jawa. .Asumsi ini bisa kita terima kalau kita berpendapat bahwa, tidak mungkin ada manusia yang tiba-tiba turun dari langit, atau keluar dari palung sungai sa’dan atau keluar dari mata air, atau keluar dari dalam rumpun bambu, atau keluar dari dalam batu. Jadi mungkin Puang Tamboro Langi’ mengambil istrinya dan juga istri dari anak-anaknya dari Jawa, kecuali Puang Messok yang istrinya asli orang Toraja. Jadi setelah mereka ini tiba di Toraja, mereka untuk pertama kali dilihat oleh masyarakat ditempat itu dan mungkin setelah diajak bicara, mereka tidak bisa berbahasa toraja, sehingga masyarakat menganggap bahwa memang mereka ini orang asing yang turun dari kayangan dan baru muncul di tempat itu. Cuma perlu ada pengkajian lebih lanjut, apakah memang Puang Tamboro Langi’, istri dan para menantunya itu betul-betul berasal dari pulau jawa seperti penjelasan diatas atau dari tempat lain.


Mungkin salah satu sebab mengapa penerus kerajaan Matampu’ yang telah didirikan oleh puang Tamboro Langi’ adalah Puang Messok,karena istrinya merupakan masyarakat asli Toraja di Rante Rano, Makale, sehingga dia diharapkan bisa menetap di Toraja.
Mungkin juga sebelum Puang Sandaboro meninggalkan Toraja, kekuasaan di Tongkonan Buntu Borrong diserahkan ke Puang laki Padada, tetapi karena adanya penyakit sampar (ra’ba biang) yang meraja lelah sehingga adiknya meninggal, maka dia juga meninggalkan Toraja untuk menyusuli orang tuanya ke Jawa untuk mencari kehidupan (undaka’ tangmate) dan sekaligus mencari ilmu. Cuma perahu yang ditumpangi kesana, mungkin mengalami musibah ditengah jalan , sehingga dia terdampar di Kerajaan Goa. Jadi asumsi-asumsi ini perlu dikaji lebih lanjut.


Puang Messok yang diberikan kepercayaan untuk memimpin Kerajaan Matampu’, memindahkan pusat kerajaan dari Kandora, Mengkendek, ke Rante Rano, Makale yaitu Tongkonan Deata Rano sebagai pusat pemerintahannya.
Dia juga memindahkan Banua Puan dari Mengkendek ke Rante Rano, sebab Tongkonan ini dianggap Sakral karena menjadi pusat Aluk Sanda Pitunna diseluruh Toraja Raya, yang telah dirintis oleh Tangdilino,sehingga diharapkan para pimpinan Arruan atau Lembang yang ada di Toraja Raya, akan tetap mengakui kepemimpinan Puang Messok di Kerajaan Matampu’. Dia juga mengganti nama Puang dengan nama Datu sebagai nama gelar untuk pemimpin tertinggi di Kerajaan Matampu’ ( bergelar Datu Matampu’).


Kerajaan Matampu’ mengalami kemajuan pesat pada saat dipimpin oleh puang Payak Allo (Datu Matampu’), karena didukung oleh istrinya yang berasal dari Toraja Bagian Barat ( mamasa,pinrang). Itulah sebabnya Datu Kelali’ yang memimpin kerajaan Matallo(luwu’) dan selalu mengklaim bahwa wilayah Toraja Raya masih merupakan wilayah kekuasaannya, merasa tersaingi sehingga dia mencari jalan untuk melemahkan kerajaan Matampu’ dengan cara ikut terlibat dalam pembunuhan Puang Pabiung, anak Puang Rambulangi’, yang dilakukan oleh anak Datu Matampu’ untuk memperebutkan putri puang paetong dari mengkendek. Dengan adanya Pembunuhan tersebut maka Puang Rambulangi menuntut penyelesaian secara adat tetapi ditolak oleh Datu Matampu’. Hal ini menyebabkan Puang Rambu Langi’ marah dan mengumumkan perang melawan Datu Matampu’, sehingga terjadi perang saudara yang pertama kali Toraja pada waktu itu, yang disebut Rari To Sangtaran Lolo ma’pempissanna.


Dalam peperangan antara Puang Rambu Langi’ dan Datu Matampu’ tersebut, maka untuk mengkoordinir pasukannya, Datu Matampu’ menyerahkan kekuasaan kepada anaknya Puang Kadondoi Rano untuk mengkoordinir pasukannya dilapangan, sedangkan Puang Rambulangi dibantu oleh anaknya Puang Rambulangi’ Tangnga. Sehingga secara praktis dilapangan terjadi pertarungan antara Puang Kadondoi Rano dan Puang Rambu Langi Tangnga yang bergelar Puang Lando Inaa, karena pintar dan ahli dalam strategi perang.
Karena datu kelali’ ingin menguasai kerajaan matampu’, maka dia mengirimkan pasukannya membantu Puang Rambu Langi’, sehingga Datu Matampu dapat dikalahkan dan melarikan diri ke daerah pitu ulunna salu (mamasa, pinrang) dan kekuasaan di Kerajaan Matampu’ jatuh ketangan Puang Rambulangi’. 


Jatuhnya kekuasaan Datu Matampu’ dikenal dalam ungkapan: Tonna songka papa maa’na Datu Matampu’, tonna tibambang paranta’ kandaurena tokabarealloan lan kabo’toan kulla’.
Dalam peperangan tersebut Istana Kerajaan Matampu’ yaitu Tongkonan Deata Rano dibakar, termasuk Banua Puan, juga ikut terbakar, sehingga Puang Rambu Langi’ memindahkan pusat kerajaan Matampu ke Tongkonan Puang Rambu Langi’ di Tongkonan Pangi, Mandetek.
Karena Datu Kelali’mulai berlaku sewenang-wenang, termasuk meminta rampasan perang dan juga meminta 100 orang laki-laki dan 100 orang perempuan tanpa cacat atau masih gadis/perjaka (belum kawin) untuk dibawa ke Kerajaan Luwu’. Dia juga menghapus gelar Raja atau Puang atau Datu dari Toraja .
Hal ini menyebabkan Puang Rambulangi’ marah dan bersama-sama dengan Puang Pasallin dari Tongkonan Layuk Kaero, Sangalla, mengumumkan perang kepada Datu Kelali’, sehingga pecah perang selama 7 tahun antara Toraja dengan Luwu’.
Berhubung karena didukung oleh seluruh masyarakat Toraja, maka Pasukan Datu Luwu’ dapat dipukul mundur oleh Pasukan Puang Rambulangi ke daerah perbatasan, kemudian sesampainya di Sangalla’ maka mereka dihadang oleh pasukan Puang Pasallin yaitu Palodang dari Tongkonan Layuk Kaero, sehingga terjadi peperangan yang sangat dahsyat di sungai pangiu’ yaitu daerah disekitar perbatasan antara Luwu’ dengan Toraja. Perang yang berlangsung selama 7 tahun ini memakan korban manusia dan harta benda yang sangat banyak, sehingga Puang Pagonggang dari Batualu yang merupakan ayah mertua Datu Kelali’ berupaya menjadi penengah, sehingga terjadi perdamaian di sungai pangiu’, yang disebut basse pangiu’, yaitu mengangkat sumpah keramat dengan menguburkan seekor kerbau bertaduk Tekken Langi’ yaitu sebuah tanduknya berbelok ke bawah, menunjuk tanah dan satu lagi menunjuk kelangit, dengan maksud bahwa sumpah keramat tersebut disaksikan oleh penguasa langit dan bumi.


Sumpah setia antara Luwu’ dengan Lepongan Bulan, Tallu Lembangna yang diwujudkan dalam Basse Sangtempe’: Ditananmi basse kasalle diosokmi panda dipamaroson, digente’ basse ma’polo sondong, panda mangle’to banua. Ditundanmi basse dipaturun guntu’, diruyangmi panda dipala’to galugu kumua: Tangla siberu susuk kadatuan lan di luwu’, anna kabarealloan kalindo bulawanan lan lepongan bulan, tang la sibe’do katonan kapayungan lan di palopo anna matari’ allo, ia anta den untengkai basse kasalle, ia anta den ullenda pasala uma panda dipamaroson , tang mondo lino’ naki’ mamma’ rokko kandean ulli’, intakan olang-olang. Ditanammi Basse Sangtempe’ disanga To nasipi’ batu batoa, diosokmi panda sanguaian di gente’ to na pararra’ tanete kalando.


Jadi basse ini mengatur tentang daerah Pantilang dan Rante Balla, maka Basse ini menghasilkan Basse Sangtempe’ (Bastem ). Sebenarnya peran Basse sangtempe’ adalah sebagai wilayah penyangga antara dua buntu batoa, yaitu Luwu’ dan Toraja. Dengan kata lain Basse Sangtempe’ akan menjadi pengawas apabila Luwu’ mengambil wilayah atau menyerang Toraja atau sebaliknya apabila Toraja yang menyerang Luwu’. Apabila ada yang melanggar basse ini maka mereka dan keturunannya akan mendapat malapetaka dan kutuk penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Salah satu yang juga diatur dalam perjanjian atau Basse tersebut adalah Datu Luwu’ mengembalikan Gelar Puang ke daerah Tallu Lembangna, sedangkan gelar Datu ditiadakan atau dihapus. Dengan demikian hingga kini hanya di Tallu Lembangna yang tetap menggunakan gelar tersebut yaitu gelar Puang Ma’dika Matasak Ma’rara Takkun Ma’lite Bumbungan. 


Akibat dari perang selama 7 tahun tersebut menyebabkan hilangnya banyak prajurit dan harta benda, sehingga kerajaan Matampu’ menjadi lemah dan setelah Puang Rambulangi’ meninggal, masih sempat digantikan oleh anaknya tetapi tidak berlangsung lama , karena masing-masing Arruan atau Lembang atau Bua’, melepaskan diri satu persatu yang akhirnya Kerajaan Matampu’ yang awalnya didirikan oleh Puang Tamboro Langi’ menjadi runtuh. Masing-masing wilayah adat melepaskan Aluk Sanda Saratu’ yang monarki dan kembali ke Aluk Sanda Pitunna dengan sistim yang demokratis, kecuali di wilayah adat Tallu Lembangna yang masih tetap menggunakan Aluk Sanda Saratu’ dalam kehidupan masyarakatnya.


Jadi setelah runtuhnya kerajaan Matampu’, maka kekuasaan adat kembali ke tangan Ma’dika Ampu Lembang di bagian barat, Siambe’ atau Toparenge’ di bagian utara dan Puang di Tallu Lembangna. Adapun daerah-daerah yang telah melepaskan diri tersebut adalah:
*.Puang Palodang atau Puang Sangalla’ di Tongkonan Layuk Kaero, Sangalla’.
*.Puang Ma’kale di Tongkonan Layuk Buntu Tondon, Makale.
*.Puang Mengkendek di Tongkonan Layuk Otin, Mengkendek.
*.Para Ma’dika di bagian barat yaitu Daerah: Tapparan,Banga, Talion, Malimbong, Ulusalu, palesan, Buakayu, Rano,Bau, Mappa’, Bittuang, Balepe’, Simbuang dan Mamasa.
*.Para To Parenge’ di bagian utara yaitu Daerah : Kesu’, Tikala, Pangala’, Sa’dan, Balusu, Tondon, Nanggala, Buntao’, Madandan, Piongan, Dende’, Kurra, Balla, Pali, Se’seng dan Rantebua.
*.Didaerah sebelah timur Sangalla’ yaitu daerah kekuasaan Banua/Tongkonan A’pa’ yaitu Tabang, Tangdu, Tede’ dan Biduk.


Keempat Tongkonan tersebut dikenal sebagai lembang to banua a’pa’, karena menjadi medan pertempuran terakhir antara Pasukan Datu Luwu’( Datu Kelali’) dengan Pasukan Puang Pasallin dan Pasukan Puang Rambu Langi’.
Beberapa Tahun kemudian Puang Laki Padada mendengar bahwa Kerajaan Matampu’, yang dibentuk oleh neneknya Puang Tamboro Langi dulu sudah runtuh, maka dia mengirim anaknya Puang Patta La Bantan ke Toraja untuk mendirikan kembali kerajaan tersebut.


Setelah Puang Patta La Bantan tiba di Toraja dia membuat rumah diatas bukit di daerah Manggasa’, Makale, di dekat lokasi Rumah Jabatan Bupati Tanah Toraja sekarang. Nama Manggasa’ diberikan oleh masyarakat pada waktu itu, karena Puang Patta La Bantan dianggap berasal dari kerajaan Goa atau Kerajaan orang Makasar (orang Toraja menyebut Makasar dengan nama Mangkasa’ atau Manggasa’).
Setelah Puang Palodang dari Sangalla’ mendengar bahwa Puang Laki Pada dari Kerajaan Makasar(Goa) telah mengirim anaknya Puang Patta La Bantan untuk mendirikan kembali Kerajaan yang pernah didirikan oleh Puang Tamboro Langi’ dulu, maka dia berusaha mengawinkan Puang Patta La Bantan dengan seorang putri dari Nonongan bernama Puang Petimba Bulaan dan sekaligus mengajak Puang Patta La Bantan untuk pindah ke Buntu Kaero,Sangalla’ dan menyerahkan kekuasaan kepadanya.


Dengan demikian maka Puang Pata La Bantan pindah ke Kaero, Sangalla’ dan mendirikan rumah baru bersama istrinya dan mulai menyusun anggota adatnya. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dalam bahasa Toraja disebut Toumpotekken tekken, toumposarong sarong dengan gelar Tokabarre alloan, tokalindo bulawanan.
Puang Patta La Bantan dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh 4 orang anggota adat tertinggi, yang disebut Ada’ Kasalle dan dalam tradisi Kaero disebut Tongkonan A’pa’ yaitu:
*.Tanduk Tata’ yaitu penguasa bidang pemerintahan dan kehakiman yang berkedudukan di Tongkonan Dulang.
*.Issong Kalua yaitu penguasa bidang kema’muran dan logistik yang berkedudukan di Tongkonan Suaya.
*.Londong Kila’ yaitu penguasa bidang pertahanan dan keamanan yang berkedudukan di Tongkonan Buntu Tongko.
*.Pa’palumpangan yaitu penguasa bidang keagamaan dan adat istiadat yang berkedudukan di Tongkonan Solo’.
Dibawah adat kasalle yaitu Londong Kila’ penguasa bidang pertahanan dan keamanan, terdapat limbu a’pa’na yaitu empat wilayah pertahanan dan keamanan untuk melindungi Tongkonan Layuk Kaero dari serangan musuh dari luar, sebagai pusat pemerintahan yaitu:
*.Rakyat wilayah Tokesan dijadikan pasukan khusus gerak cepat dengan gelar Pasukan Palasa makati’ dan sekaligus berfungsi melindungi Tongkonan Layuk Kaero, kalau ada musuh menyerang dari bagian selatan.
*.Rakyat wilayah Turunan/ Boto dijadikan pasukan umum, semacam pasukan infantri , yang bergelar Pasukan Bulian Massabu Doke Mariu dan sekaligus melindungi Tongkonan Layuk Kaero , apabila ada serangan dari bagian barat.
*.Rakyat wilayah Lampio dijadikan pasukan khusus pengawal kerajaan dan penjaga perbatasan, yang bergelar Guali Bassi Ba’ba Lumuran atau pasukan goli-goli bassi, yang juga berfungsi menangkal serangan musuh yang datang dari bagian utara.
*.Rakyat wilayah Leatung dijadikan pasukan pertahanan rakyat dan pelindung masyarakat dengan gelar Pasukan Rinding Daun Induk, Sapan Kua-kuana Kalindo Bulawanan, yang berfungsi melindungi Tongkonan Layuk Kaero , apabila ada musuh yang menyerang dari bagian Timur.
Kemudian tiap-tiap desa diangkat menjadi anggota adat bawahan yang disebut ada’ bitti yang mempunyai tugas khusus masing-masing. Misalnya desa Sarapung/Kali’ba’ disebut Toditanan Gandang Boro , yang bertugas sebagai bagian penerangan dan pengawas keamanan/intelejen yang melaporkan apabila ada gangguan keamanan. Juga desa Bebo disebut: to dipotalinga rara’na kabarealloan, suling bulaanna kalindo bulawanan, dan lain-lain.


Ada 24 Penanian yang berada dibawah kekuasaan Puang Patta Labantan di Tongkonan Layuk Kaero. Hubungan antara Tongkonan Layuk Kaero sebagai pusat Pemerintahan dan Pusat Kekuasaan, dengan Penanian sebagai wilayah kekuasaan, bersifat federal, artinya bahwa setiap Penanian bersifat Otonom. Hubungan tersebut tersirat dalam : Ditinting bulaanni, dibangka’ loloi, anna tang kandean dena’, tang intokan isi balao. 


Disamping ketiga kelompok adat tersebut diatas, masih ada kelompok adat yang disebut Adat Tangnga Sali yaitu kelompok adat yang mengurusi bidang kerumahtanggaan Istana Tongkonan Layuk Kaero. 


Pada awalnya wilayah kekuasaan Puang Patta La Bantan hanya wilayah sangalla’ saja. Setelah itu dia berusaha mempersatukan Arruan atau Lembang yang pernah bergabung dibawah pemerintahan Puang Tamboro Langi’ dulu, tetapi hanya tiga lembang atau arruan yang berhasil digabungkan kembali yaitu Sangalla’, Makale dan Mengkendek, yang dikenal dengan nama Tallu Lembangna. Jadi Puang Patta Labantan hanya berhasil menguasai wilayah Tallu Lembangnya saja dan sekaligus menerapkan aluk Sanda Saratu’ yang bersifat Monarki, yang dibawah oleh Puang Tamboro Langi’ dulu, sedangkan Aruan atau Lembang yang lain tetap menerapkan aluk Sanda Pitunna yang dirintis oleh Tangdilino, yang bersifat demokratis dan hanya berasaskan hubungan kekeluargaan dan kegotong royongan dalam kehidupan bermasyarakat.


Jadi Kapuangan atau Kerajaan Lepongan Bulan- TalluLembangna yang dibentuk oleh Puang Patta Labantan ini hanya berlangsung selama 11 generasi, kemudian pada jaman pemerintahan Puang Bullu Matua , maka kerajaan atau Kapuangan ini dibagi menjadi tiga Kerajaan atau Kapuangan , diatas landasan sumpah yang disebut Base Tallu Lembangna yaitu Kerajaan atau Kapuangan Basse Kakanna, Kapuangan Basse Tangngana dan Kapuanga Basse Adinna. 
Ketiga Kerajaan atau Kapuangan ini, sudah tercantum dalam Buku sejarah Indonesia, yaitu Buku Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap (RPUL) untuk mata pelajaran Sekolah Dasar, yang menyangkut tentang sejarah Kerajaan-Kerajaan yang pernah ada di Nusantara.


Selanjutnya ada beberapa hal yang perlu dikaji lebih lanjut mengenai asal usul To manurung Puang Tamboro Langi’ dan Istrinya serta para menantunya , apakah mereka betul-betul berasal dari Pulau Jawa seperti penjelasan tersebut diatas atau dari tempat lain.
Kalau mereka betul-betul berasal dari Pulau Jawa, apakah mereka datang karena menghindari perang saudara dan perebutan kekuasaan di Kerajaan Kediri dan Kerajaan Singosari atau menghindari rencana serangan balas dendam dari raja Kubilai khan dari kerajaan Mongol atau rencana lain yaitu dikirim dalam suatu misi tertentu dalam rangka ekspedisi dari Raja Kerta Negara untuk memperkuat dan memperluas wilayah kekuasaan dari Kerajaan Singosari, dengan membentuk kerajaan-kerajaan baru di luar pulau Jawa.
Kemudian apakah Bate Manurun yang berlambang wayang, dan mirip dengan sebuah Pusaka Panji Kerajaan dan Gayang yang mirip Keris di Jawa, serta payung kerajaan, yang saat ini masih tersimpan di Tongkonan Layuk Kaero, memang dibawa oleh Puang Tamboro Langi’ atau orang lain, karena kelihatannya barang tersebut bukan dibawa oleh nenek moyang kita yang berasal Tongkin dan Yunan, yaitu suatu wilayah di Vietnam bagian Utara yang berbatasan dengan Cina. Karena dasar para pakar sejarah menyatakan bahwa nenek moyang kita berasal dari daerah itu, karena kita mempunyai banyak persamaan dengan mereka seperti : bentuk fisik tubuh dan warna kulit, peralatan makan,rumpun bahasa yang sama, baju yang dipakai para wanita bentuknya sama (baju pokko’ atau baju toraja), adat istiadat atau kebiasaan seperti senang memelihara kerbau, babi dan ayam, serta senang melaksanakan adu kerbau pada acara-acara tertentu, agama kepercayaan termasuk pantangan atau pemali yang hampir sama. Hal lain juga yang mungkin hampir sama dengan karakter masyarakat Toraja yaitu mereka mempunyai sifat sebagai pekerja keras dan pantang menyerah. Itulah sebabnya meskipun tentara Amerika membombardir dan menyerang mereka habis-habisan, tetapi mereka pantang menyerah, malah Amerika mundur dan menandatangani perjanjian perdamaian dengan mereka. 


Mungkin dalam penulisan ini ada hal-hal yang berbeda dengan pendapat orang lain, karena sejarah orang Toraja adalah sejarah yang pada awalnya tidak tertulis atau sejarah lisan yaitu sejarah yang dituturkan atau diucapkan dari mulut ke mulut, dari orang tua diturunkan kepada anak cucunya. Karena kemampuan daya ingat manusia berbeda-beda dan sangat terbatas, maka mungkin saja dalam perjalanan sejarah Toraja, terjadi kesalahan dalam penyampaian informasi selanjutnya.

 

Demikian riwayat hidup singkat dari Puang Tamboro Langi’ sebagai seorang yang terkenal kerena membawa Aluk Sanda Saratu’ untuk melengkapi Aluk Sanda Pitunna yang telah dipopulerkan oleh Tangdilino sebelumnya, serta berjasa dalam mendirikan Kerajaan Matampu’ di Daerah Lepongan Bulan, Tana Matarik Allo.