Minggu, 02 Mei 2010

MAKALAH SEJARAH PEMBERLAKUAN UUPA

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dalam keseharian, kehidupan kita selalu berkaitan dengan lingkungan tempat tinggal kita, lingkungan tempat tinggal merupakan salah satu faktor dimana akan terjadi pembentukan kepribadian, lingkungan terdiri atas darat, laut, udara dan semua yang terkandung didalamnya atau istilah hukumnya Agraria.


Semua bagian tersebut adalah milik negara. Ketentuan-ketentuan dalam lingkungan tersebut diatur sepenuhnya oleh negara yang bersangkutan, mungkin kita belum tahu apa ketentuan-ketentuan tersebut, tapi sebelum kita masuk dalam peraturannya, kita harus tahu juga bagaimana asal mula terbentuknya ketentuan tersebut. Dalam makalah ini, kita akan membahas Sejarah Pembentukan UU yang mengatur tentang Agraria.
Sebelum  Undang – Undang  Pokok Agraria  (UUPA)  berlaku ( sebelum tanggal  24  September 1960 ) hukum agrarian di Indonesia bersifat dualistis, karena Hukum Agraria pada waktu itu bersumber pada Hukum Adat dan Hukum Perdata Barat.
RUMUSAN MASALAH
Dari pembahasan diatas, maka akan timbul pertanyaan tentang hal- hal yang yang sangat identik dengan judul makalah ini, pertanyaan tersebut dapat saya paparkan sebagai berikut:
Dari mana Hukum Agraria tersebut muncul?
Bagaimana Pembentukan atau Peralihan Hukum Agraria di Indonesia?
Apa Fungsi , Tujuan dan Sumber  Hukum Agraria?
Bagaimana Hak Tanggungan dari Hukum Agraria?
Jika pertanyaan tersebut selesai dibahas dalam makalah ini, saya yakin pembaca akan tahu apa dan bagaimana maksud makalah ini.


BAB II

PEMBAHASAN

SEJARAH PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG HUKUM POKOK AGRARIA
Sebelum  Undang – Undang  Pokok Agraria  (UUPA)  berlaku ( sebelum tanggal  24  September 1960 ) hukum agrarian di Indonesia bersifat dualistis, karena Hukum Agraria pada waktu itu bersumber pada Hukum Adat dan Hukum Perdata Barat.
Hukum Agraria yang berdasarkan pada Hukum Perdata Barat yang berlaku sebelum tanggal 24 September 1960, tersusun dari sumber yang berasal dari pemerintah jajahan, sehingga tidak mustahil  bahwa di dalamnya terselubung tujuan pemerintahan jajahan yang hanya menguntungkan pihaknya. Keadaan semacam ini berakibat bahwa beberapa ketentuan hukum Agraria yang berlaku pada waktu itu menjadi bertentangan dengan kepentingan rakyat Indonesia.
Hukum Perdata Barat yang menyangkut  Agraria tersebut diberlakukan hanya bagi orang – orang yang termasuk ke dalam golongan Eropa dan golongan timur asing, adapun tanah-tanah yang dikuasai oleh kedua golongan penduduk tersebut dinamakan tanah dengan hak-hak barat.
Tanah dengan hak Adat adalah yang tunduk pada tanah hukum Adat dan khusus berlaku bagi golongan penduduk bumiputra (pribumi). Dan corak Hukum Agraria yang dualistis ini berlaku sampai dengan Tahun 1959, dan pada waktu itu pemerintah  berusaha untuk dalam waktu dekat melahirkan Hukum Agraria baru yang bersifat Nasional.
Sebelum berlaku UUPA No. 5/1960 ada beberapa ketentuan yangmengatur pertanahan yaitu :
Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum perdata Barat.
Pada masa Pemerintahan Belanda banyak ada peraturan-peraturan yang
mengatur masalah pertanahan di Indonesia seperti:
Agrarische Wet / Stb. No. 108 tahun 1870
Algemeen Domeinverklaring / Stb. 199a tahun 1875
Domeinverklaring / Stb. No. 118 tahun 1870
Domeinverklaring untuk Sumatera / Stb. No. 94 f tahun 1874
Domeinverklaring untuk keresidenan Manado / Stb. No. 55 tahun 1877
Koninlijk Besluit tgl. 16 April 1872 No. 29 / Stb. No. 117 tahun 1870
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang mengenai hypotheek. Dengan dibentuknya Undang-Undang Pokok Agraria maka dengan tegas menyatakan bahwa peraturan-peratuan diatas tidak berlaku lagi, karena tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat di Indonesia.
Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum adat.
Negara Republik Indonesia dari Sabang hingga Maruoke berjejer pulau-pulau yang dihuni berbagai suku, adat istiadat dan beragam agamanya hal ini merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, dengan adanya bermacam-macam suku atau adat istiadat memberikan kepada kita untuk menguasai, mengusahai, atau mengerja lahan yang ada disuatu daerah tertentu, sehingga dengan hasil dari lahan atau tanah tersebut memberikan keteraman bagi masyakarat, namun dengan keanekaragam suku bangsa tersebut akan terlihat dengan berlakunya ketentuan UUPA, yang sama sekali tidak akan membedakan antar suku atau adat istiadat didalam mengusai dan memiliki lahan-lahan tersebut. Dengan demikian akan jelas bagi kita bahwa hukum adat tersebut harus dilhilangkan sifat kedaerahannya dan harus bersifat lebih Nasional
Proses penyusunan rancangan UUPA dilakukan oleh panitia-panitia yang berganti-ganti 5 kali selama kurang lebih 12 tahun panitia rancangan, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Soewahjo, Rancangan Soenaryo dan Rancangan Sadjarwo.
Panitia Agraria Yogyakarta
Usaha yang dilakukan untuk membentuk rancangan hukum nasional, agar terhapusnya hukum colonial belanda, yaitu berdasarkan Penetapan Presiden RI No. 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948 dibentuklah Panitia Agraria Yogyakarta, yang mengusulkan :
Meniadakan asas domein dan hak ulayat, yaitu hak masyarakat hukum adat.
Mengadakan peraturan mengenai hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik atas tanah.
Mengadakan study perbandingan ke negara tetangga sebelum menetukan apakah orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
Mengadakan penetapan luas minimum pemilik tanah agar para petani kecil dapat hidup layak, untuk pulau Jawa diusulkan 2 (dua) hektar.
Mengadakan penetapan luas maksimum pemilikan tanah dengan tidak memandang jenis tanahnya, untuk Pulau Jawa diusulkan 10 (sepuluh) hektar.
Menganjurkan menerima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan oleh Panitia ini oleh Sarimin Reksodiharjo.
Mengadakan pendaftaran tanah milik.
Panitia Agraria Jakarta
Hingga tahun 1951 Panitia Agraria Yogyakarta belum dapat menyelesaikan tugasnya karena terjadi perubahan bentuk pemerintah dari RIS ke Negara Kesatuan RI. Setelah pusat pemerintahan Yogyakarta pindah ke jakarta, disebut Panitia Agraria Jakarta, maka Panitia Agraria Yogyakarta dibubarkan dan dibentuk Panitia baru yang berkedudukan di Jakarta, disebut Panitia Agraria Jakarta. Panitia ini diketuai oleh Sarimini Reksodihardjo. Dalam laporannya kepada pemerintah mengenai tanah pertanian, panitia ini mengusulkan:
Mengadakan batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 (dua) hektar.
Menentuukan batas maksimum pemilikan tanah, yaitu 25 (dua puluh lima) hektar untuk satu kelarga.
Yang dapat memiliki tanah pertanian hanya warga negara Indonesia, sedangkan badan hukum tidak diperkenankan.
Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum
Hak ulayat disetujui untuk diatur
Panitia Soewahjo
Karena panitia Agraria Jakarta tidak dapat menyelesaikann penysunan rancangan UUPA Nasional dalam waktu singkat, maka dengan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1956 tanggal 14 Januari 1956 Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan dibentuk apanitaia Negara Urusan Agraria yang diketuai oleh Soewahajo Sumudilogo. Panitia ini berkedudukan di Jakarta. Dalam waktu satu tahun, tepatnya tanggal 1 januari 1957 Panitia ini telah merampungkan penyusunan rancangan UUPA. Karena tugasnya telah selesai, maka dengan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1958 tanggal 6 Mei 1958 Panitia ini dibubarkan.
Rancangan Soenarjo
Setelah diadakan perubahan sistematika dan rumusan beberapa Pasal, Rancangan Panitia Soewahjo diajukan oleh Menteri Soenarjo ke Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk membahas rancangan tersebut, DPR perlu mengumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap. Untuk itu, DPR mintah kepada Universitas Gajhah Mada Yogyakarta untuk menyumbangkan pikirannya mengenai rancangan UUPA. Setelah menerima bahan dari Universitas Gajhah Mada, dibentuklah Panitia Kerja (Ad Hoc) yang terdiri dari :
Ketua merangkap anggota             :     A. M. Tambunan
Wakil Ketua Merangkap anggota         :     Mr. Memet Tanumidjaja
Anggota-anggota                 :     Notosoekardjo, Dr. Sahar glr Sutan Besar, K.H. Muslich,    Soepeno  adisiwojo, I. J. Kasimo.
Selain dari Universitas Gajhah Mada, bahan-bahan diperoleh juga dari Mahkamah Agung RI ayang diketuai oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro.
Rancangan Sadjarwo
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan kembali UUD 1945. Karena rancangan Soenarjo disusun berdasarkan UUDS 1950, maka pada tanggal 23 Maret 1960 rancangan terbut ditarik kembali. Dalam rangka menyesuiakan rancangan UUPA dengan UUD 1945, perlu diminta saran dari Universitas Gajhah Mada. Untuk itu, pada tanggal 29 Desember 1959, Menteri Agraria Mr. Sadjarwo berserta stafnya Singgih Praptodihardjo, Mr. Boedi Harsono, Mr. Soemitro pergi ke Yogyakarta untuk berbicara dengan pihak Universitas Gajhah Mada ayang diwakili oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dan Drs. Iman Sutignyo. Setelah selesai penyesuaian dengan UUD 1945 dan penyempurnaannaya maka rancangan UUPA diajukan kepada DPRGR. Pada hari Sabtu tanggal 24 september 1960 rancangan UUPA disetujui oleh DPRGR dan kemudian disahkan oleh Presiden RI menjadi UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lazim disebut Undang-undang Pokok.
Pada tanggal 24 September 1960, di undangkanlah Undang-Undang No.5 Tahun 1960  melalui Lembaran Negara 1960 No.104 yaitu Undang-Undang mengatur  tentang  Agraria , yang diberi nama Undang-Undang Pokok Agraria  (UUPA).
Dengan berlakunya UUPA sejak Tanggal 24 September 1960 maka ada beberapa peraturan tertulis yang mengatur tentang agraria  yang dinyatakan tidak berlaku  lagi (dicabut) .  Hukum Agraria baru disusun dengan dasar  Hukum Adat , sehingga  hukum Agraria Adat mempunyai peran penting dalam sejarah lahirnya UUPA. Dengan berlakunya UUPA tidak berarti bahwa  hak ulayat tidak diakui  lagi. Hak ulayat tersebut masih diakui sejauh tidak mengganggu atau menghambat pembangunan nasional untuk kepentingan umum.
Dapat dikatakan bahwa Hukum Agraria yang mengatur bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah hukum adat sejauh tidak  sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara (Pasal 5 UUPA) . Semua hak atas tanah dinyatakan berfungsi sosial (Pasal 6 UUPA).
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undang-Undang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dari sinilah mulanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) terbentuk, ada perintah Undang-Undang Dasar yang menyebutkan “dikuasai Negara”, tetapi UUD 45 tidak merumuskan secara khusus hak mengusai yang bagaimana. Maka Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merumuskan apa konsep “dikuasai Negara” di UUD 45 tersebut.
Pembentukan  Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) selain merumuskan konsep hak menguasai juga menegaskan dan menjelaskan lebih rinci tentang maksud memakmurkan rakyat dalam UUD 45, memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia yang di tuangkan dalam konsideran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
TUJUAN DAN FUNGSI HUKUM AGRARIA
Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya UUPA adalah
Meletakkan dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang merupakan sarana untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi  rakyat dan Negara, terutama rakyat tani dalam rangka menuju ke masyarakat adil dan makmur.
Meletakkan dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum pertanahan.
Meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Salah satu konsep penting juga didalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah Hak Menguasai Negara dan fungsi sosial hak atas tanah. Bahwa selain mengkonsep perintah Pasal 33 ayat 3 UUD 45, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) juga mengeksplorasi fungsi sosial yang secara umum dirumuskan sebagai berikut :
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM AGRARIA DI INDONESIA
Pengertian Agraria 
Boedi Harsono membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif, yakni arti agraria dalam arti umum,administrasi pemerintahan dan pengertian agraria berdasarkan UUPA
Dalam perspektif umum agraria berasal dari bahasa latin “ager”  yang berarti tanah atau bidang tanah.  Agrarius berarti perladangan,persawahan,pertanian,agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah.
Di indonesia sebutan agraria di lingkungan administrasi pemerintahan di pakai dalam arti tanah baik tanah pertanian maupun non pertanian.
Tetapi agrarisch recht atau hukum agraria di lingkungan administrasi pemerintahan di batasi pada perangkat peraturan perundang-undangan  yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam dalam melaksanakan kebijakannyadi bidang pertanahan.maka perangkat hukumtersebut merupakan bagian dari hukum administrasi negara.
Dalam thn 1988 badan pertanahan nasional dengan keputusan presiden no,26 thn 1988 yang sebagai lembaga pemerintahan non Departemen bertugas untuk membantu  presiden dalam mengelolah dan mengembangkan administrasi pertanahan .adanya jabatan mentri negara agraria/kepalah badan pertanahan nasional dalam kabinet pembangunan VI juga tidak mengubah lingkup pengertian agraria.sebutan tampak tersebut untuk menunjukan bahwa tugas kewenangan mentri  negara agraria adalah lebih luas dari dan tidak terbatas pada lingkup tugasnya sebagai kepalah badan pertanahan nasional yang di buat dalam KEPRES nomor :26 thn 1988.
Pengertian hukum agraria
Beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang apa yang di maksud dengan hukum agraria yaitu:
Prof. E. Utrecht, SH menyatakan bahwa hukum agraria adalah menjadi bagian dari hukum tata usaha negara  karena mengkaji hubungan hubungan hukum antara orang, bumi, air.dan ruang angkasa yang meliatkan pejabat yang bertugas mengurus masalah agraria.
Dari pada itu sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UUPA ,maka sasaran hukum agraria  meliputi bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya,sebagaimana di sebut lazimnya di sebut sumber daya alam oleh karna pengertian hukum agraria menurut UUPA memiliki pangertian hukum agraria yang paling luas  yang merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak penguasan atas sumber daya alam yang meliputi:
Hukum pertanahan yang mengatur hak-hak penguasan tanah dalam arti permukaan bumi
Hukum air yang mengatur hak-hak penguasan dalam air
Hukum pertambangan yang mengatur hak-hak penguasan atas bahan-bahan galian yang di maksud oleh undang –undang pokok pertambangan.
Hukum perikanan yang mengatur hak-hak penguasan atas kekayaan alam yang terkandung dalam air.
Hukum kehutanan yang mengatur hak-hak atas penguasan atas hutan dan hasil hutan.
Hukum penguasan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space law)mengatur hak-hak penguasan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang di maksud oleh psl 48 UUPA.
Sedangkan hukum agraria dalam arti kata sempithanya mencakup hukum pertanahan yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasan dalam atas tanah. Yang di maksud  tanah di sini adalah sesuai dengan pasal 4 ayat 1 UUPA adalah permukaan tanah yang penggunaannya menurut pasal 4 ayat 2 meliputi tubuh bumi,air dan ruang angkasa yang ada di atasnya ,sekedar yang di perlukan yang langsung  berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas menurut UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Hukum  Tanah
Dalam pengertian konteks agraria,tanah berarti permukaan bumi paling luas berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.hukum tanah di sini bukan mengatur tanah dalam segalah aspeknya,melainkan hanya mengatur sala satu aspek saja yaitu aspek yuridisnya yang di sebut dengan hak-hak penguasan atas tanah.dalam  hukum tanah merupakan sesuatu yang nyata yaitu berupa permukaan fisik bumi serta apa yang ada di atasnya buatan manusia yaang di sebut fixtures.walaupun demikian perhatian utamanya adalah bukan tanahnya itu,melainkan kepada aspek kepemilikan dan penguasan tanah dan perkembangannya objek perhatian adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban berkenan dengan tanah yang di miliki dan di kuasai dalam berbagai bentuk hak penguasan atas tanah.
           Hierarki hak-hak atas penguasan atas tanah dalam hukum tanah nasional adalah:
Hak bangsa indonesia atas tanah.
Hak mengusai negara  atas tanah.
Hak ulayat masyarakat hukum adat.
Hak-hak perseorangan yang meliputi :
hak-hak atas tanah sbb :
Hak milik
Hak guna usaha
Hak guna bangunan
Hak pakai
Hak sewa
Hak membuka tanah
Hak memungut hasil hutan
Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan di tetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang di sebutkan dalam pasal 53 (UUPA).

SUMBER HUKUM AGRARIA
Sumber Hukum Tertulis :
Undang-undang dasar 1945 khusus dalam pasal 33 ayat(3) dimana dalam pasal 33 ayat (3) di tentukan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan di pergunakan sebesar basarnya untuk kemakmuran rakyat,
Undang-undang pokok agraria : unang –undang ini di muat dalam undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria, tertanggal 24 september 1960 di undangkan dan di muat dalam lembaran negara tahun 1960-140, dan penjelasan di muat dalam tambahan lembaran negara No. 2043,
Peraturan perundang –undangan  bidang agraria yaitu “peraturan pelaksanaan UUPA”.  “Dan peraturan yang mengatur soal –soal yang tidak di wajibkan tetapi di perlukan dalam praktik”,
Peraturan lama tapi dengan syarat tertentu berdasarkan  peraturan  pasal peralihan masi berlaku.
Sumber hukum Tidak Tertulis :
Kebiasan yang timbul sesuda berlakunya (UUPA) misalnya : yurisprudensi dan praktik agraria.
Hukum adat yang lama dengan syarat-syarat yang lama tertentu yaitu cacat-cacat yang telah di bersihkannya.



BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, Hukum Agraria berdasarkan pada Hukum Perdata Barat yang berlaku sebelum tanggal 24 September 1960, tersusun dari sumber yang berasal dari pemerintah jajahan, sehingga tidak mustahil  bahwa di dalamnya terselubung tujuan pemerintahan jajahan yang hanya menguntungkan pihaknya. Keadaan semacam ini berakibat bahwa beberapa ketentuan hukum Agraria yang berlaku pada waktu itu menjadi bertentangan dengan kepentingan rakyat Indonesia.
Perkembangan disusun dengan dasar  Hukum Adat , sehingga  hukum Agraria Adat mempunyai peran penting dalam sejarah lahirnya UUPA. Dengan berlakunya UUPA tidak berarti bahwa  hak ulayat tidak diakui  lagi. Hak ulayat tersebut masih diakui sejauh tidak mengganggu atau menghambat pembangunan nasional untuk kepentingan umum.
Salah satu konsep penting juga didalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah Hak Menguasai Negara dan fungsi sosial hak atas tanah. Bahwa selain mengkonsep perintah Pasal 33 ayat 3 UUD 45, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) juga mengeksplorasi fungsi sosial yang secara umum

SARAN
Ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok Agraria sudah jelas terpapar di atas, oleh sebab itu seluruh rakyat harus tunduk dan taat supaya tidak ada lagi sengketa-sengketa mengenai tanah karena sudah tercantum kepastian hak kewajiban dan kepastian hukum atas tanah.